Allah SWT berfirman dalam surah al-Anbiya’ ayat 2-3 yang artinya : “Tidak
datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an pun yang baru (diturunkan)
dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka
bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang
zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka.
Orang ini tidak lain hanyalah seorang basyar (manusia)
seperti kamu (jua), maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu
menyaksikannya. Pengakuan rasul bahwa dia juga manusia dapat dilihat
dalam surah al-Kahfi ayat
110 yang artinya : “katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang
manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat
kepada Tuhannya”
Manusia dalam pengertian basyar ini dapat pula dilihat antara lain dalam surah Ibrahim ayat 10, surat Hud ayat 26, surah al-Mu’minun ayat 24 dan 33, surah asy-syu’ara ayat 154, surah Yasin ayat 15, dan surah al-isra’ ayat 93. Di dalam hadits Rasulullah SAW juga ditemui pengakuan akan “kemanusiaan” dalam pengertian basyar.
Misalnya, dalam hadits yang menyangkut permasalahan peradilan yang
sangat terkenal, yakni ketika rasulullah SAW mengatakan “Sesungguhnya
saya ini adalah seorang manusia seperti kamu juga. Kamu datang kepada
saya untuk perkara; barangkali sebagian kamu lebih pandai mengemukakan
alat bukti dari sebagian yang lain, lalu aku putuskan perkara tersebut
sesuai dengan keterangan yang saya terima …” (HR. Bukhari dan Muslim
dari Ummu Salamah).
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terlihat bahwa manusia dalam artian basyar
adalah manusia dengan sifat-sifat kemateriannya. Manusia dalam Al-Quran
dan juga di sebut an-nas, kata an-nas dalam Alquran terdapat sebanyak
240 kali dengan keterangan yang jelas menunjuk pada jenis keturunan
Nabi Adam AS. Misalnya, yang terdapat dalam surah al hujarat ayat
13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu.
Manusia juga sering disebut al-ins atau al insan. Kata
al-ins dan al insan dalam pengertian bahasa merupakan lawan dari
“binatang liar”. Dalam Alquran, sekalipun mempunyai akar kata yang sama,
kedua kata tersebut mempunyai pengertian yang berbeda dan mempunyai
keistimewaan yang berbeda pula.
Kata al-ins senantiasa dipertentangkan dengan kata al-jinn (*jin),
yakni sejenis mahluk halus yang tidak bersifat materi yang hidup di
luar alam manusia. Bintu Syati (pakar tafsir dan dosen pada Universitas
Qurawiyyin di Maroko) mengatakan bahwa jin tidak harus dipahami sebagai
bayangan yang menakutkan di kegelapan malam, walaupun lafal al jinn itu pada dasarnya berarti al-khafa’ (tersembunyi),
yaitu makhluk yang hidup di luar alam yang kita lihat, di balik alam
yang dihuni manusia, dan tidak tunduk pada hukum alam kehidupan manusia.
Sedangkan kata al-insan bukan berarti basyar saja
dan bukan pula dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Alqur’an, al
insan mengandung pengertian makhluk *mukalaf (ciptaan Tuhan yang
dibebani tanggung jawab) pengemban amanah Allah SWT dan khalifah SWT di
atas bumi. Al-insan dalam pengertian ini didapati pada 65 tempat dalam
alqur’an. Penjelasan tersebut menunjukkan keistimewaan dan ciri-ciri
manusia dalam pengertian al-insan. Dalam ayat pertama yang diturunkan
Allah SWT kepada Rasulullah SAW, yaitu surah al-alaq, terdapat tiga kali penyebutan al insan yaitu (1) yang menceritakan bahwa manusia itu diciptakan dari ‘alaq (segumpal
darah); (2) manusia dikatakan memiliki keistimewaan, yaitu ilmu dan (3)
Allah SWT menggambarkan bahwa manusia dengan segala keistimewaannya
telah melampaui batas karena telah merasa puas dengan apa yang dipunyai.
Selanjutnya
dalam surah Maryam ayat 67 Allah SWT mengingatkan manusia agar
mempergunakan pikirannya tentang kejadiannya yang sebelumnya tidak ada
hingga menjadi ada. Selain itu antara lain dalam surah Yunus ayat 12 dan
surah al-isra’ ayat 67 ditunjukkan betapa manusia itu telah melampuai
batas dan melupakan penciptanya. Dari berbagai ayat yang memaparkan
keistimewaan dan ciri-ciri manusia bahwa manusia (al-insan) adalah
khalifah Allah Swt di atas bumi yang diberi tanggung jawab dan amanah
karena kekhususannya, adalah dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk, mempunyai ilmu, akal dan memiliki kemampuan al-bayan (berbicara).
Semuanya itu mengandung resiko dengan adanya ujian-ujian yang akan
menimpanya, baik itu yang sifatnya positif atau negatif.
Yang dimaksudkan dengan kemampuan berbicara (al-bayan)
adalah pembicaraan yang menggugah hati dan perasaan, sehingga manusia
dalam arti basyar berubah menjadi manusia yang berarti insan yang
sanggup menerima Alqur’an sebagai petunjuk. Para filsuf telah berusaha
untuk memberi kriteria yang membedakan manusia dengan hewan lainnya.
Mereka menyatakan bahwa berpikir adalah sesuatu yang membedakan manusia
dari makhluk lainnya, sehingga muncullah definisi mereka terhadap
manusia sebagai “hewan yang berpikir”. Pandai berbicara bukan hanya
sekedar mengucapkan kata-kata karena menurut penelitian para ahli,
sebagian hewan juga saling berbicara daengan bahasa mereka dan memiliki
akal dalam kadar yang sangat rendah. Berbicaranya manusia adalah dengan
pembicaraan yang telah diolah oleh pikiran yang jernih. Inilah yang
merupakan keistimewaan manusia tersebut dibandingkan makhluk lainnya.
Manusia
telah diciptakan oleh Allah dengan dibekali nafs, akal dan ruh. Nafsu
di pahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap manusia. Nafsu
ini, walaupun tidak tampak, dirasakan kehadriannya ketika seseorang
terdorong, dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk
bertindak atau berkata guna mencapai sesuatu yang dapat memuaskan
batinnya. Nafsu yang paling dikenal dan dekat dengan istilah ini adalah
nafsu yang paling dikenal dan dekat dengan istilah ini adalah nafsu
syahwat yang dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai dorongan
seksual.
Tapi
istilah bernafsu sebenarnya juga digunakan untuk pengertian yang tidak
berkaitan dengan seks, misalnya bernafsu untuk makan dan minum, untuk
mengetahui suatu rahasia, untuk berperang dan mengalahkan lawan, untuk
memiliki suatu benda, untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya, untuk
menang dalam suatu perlombaan atau undian, untuk menguasai atau
mendominasi dan setersunya. Bernafsu, yang timbul dalam diri seseorang,
mengarah kepada diri, bersifat ego sentris, bagi kesenangan atau
kepuasan diri, baik kepuasan lahiriah (misalnya kenyang) atau batiniah
(misalnya senang). Karena itu, maka tidak ada nafsu untuk kalah atau
untuk lapar, sebab hal itu tidak menyenangkan atau merugikan diri
sendiri.
Tidak
setiap sikap dan tindakan “bernafsu” itu jelek. Tapi pada umumnya
memang berkonotasi negatif. Sebabnya adalah, suatu tindakan yang
mengandung nafsu, lebih-lebih “terlalu bernafsu”, biasanya ceenderung
merugikan orang lain, bahkan bisa merugikan diri sendiri atau merusak
lingkungan alam atau sosial. Karena itu, nafsu itu sendiri perlu
dikendalikan. Sungguh pun demikian, nafsu adalah ciri manusia. Kalau
seseorang kurang mengandung nafsu, orang itu dianggap mengandung
kekurangan atau bahkan tidak normal. Dan nafsu ini merupakan faktor
penting dalam kehidupan seseorang maupun masyarakat. Nafsu adalah salah
satu faktor yang mendorong perubahan dan kemajuan. Tapi nafsu juga
mengandung resiko. Karena itu “diwaspadai”. Sebagaimana dalam Al-Qur’an
surat A Syams ayat 8 : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasihan dan ketakwaan.”
Nafsu adalah potensi dasar yang terdapat pada diri manusia. Dan akan
menjadikan manusia pada sifat-sifatnya. Apakah akan baik atau
sebaliknya. Sbagai penentu sifat tersebut adalah akal yang dimilikinya
yang merupakan pembeda dengan mahluk yang lain.
Akal
manusia berfungsi untuk mengantarkan kepada pemahaman dan kemampuan
untuk mengerti. Dalam akan mengandung daya memahami, daya menganalisa
dan menyimpulkan serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan
dalam ber”fikir”. Seorang yang memiliki daya nalar yang kuat boleh jadi
tidak memiliki dorongan moral yang kuat. Boleh jadi juga seorang yang
memiliki dorongan moral, tidak memiliki daya nalar yang kurat, tetapi
seorang yang yang memiliki “rusyd” maka dia telah menggabungkan
keistimewaan keduanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al An’am
ayat 151 yang artinya :
…
dan janganlah dekati perbuatan-perbuatan keji yang nampak atau
tersembunyi jangan juga membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali
dengan sebab yang benar, demmikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu,
semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya” (Q.S.
al-An’am 6:151).
Akal digunakan oleh manusia bukan daya pikir semata, atau daya rasa itu
semua belum mencecrminkan makna sebenarnya dari akal, tetapi ia adalah
dorongan moral untuk melakukan kebaikan dan menghindar dari kesalahan,
karena adanya untuk berpikir, memahammi persoalan. Dari sini dapat
mengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata : “Sebenarnya kami mendengar dan berakal maka pasti kami tidak termasuk penghuni neraka”
(QS al-Mulk/67:10). Dengan demikian sifat-sifat baik atau buruk yang
dimiliki oleh manusia sangat ditentukan oleh nafsu yang di dorong
melalui akal.
0 komentar:
Posting Komentar