Sabtu, 01 Desember 2012

Hakekat Manusia

Menurut al-Qur’an manusia dikenal dalam tiga kata yang biasa diartikan sebagai manusia, yaitu al-basyar, an-nas, dan al-ins atau al-insan. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan Al Qur’an sendiri pengertian ketiga kata tersebut saling berbeda.  Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Manusia dalam pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 35 kali di berbagai surah. Dari pengertian-pengertian tersebut, 25 kali diantaranya berbicara tentang “kemanusiaan” para rasul dan nabi, 13 ayat di antaranya menggambarkannya polemik para rasul dan nabi dengan orang-orang kafir yang sisinya keengganan orang-orang kafir terhadap apa yang dibawa para rasul dan nabi karena menurut mereka para rasul itu adalah manusia seperti mereka juga, dan sejumlah ayat yang mengandung pengakuan bahwa memang rasul-rasul itu adalah manusia yang sama seperti manusia-manusia lainnya.
 

Allah SWT berfirman dalam surah al-Anbiya’ ayat 2-3 yang artinya : “Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka.
Orang ini tidak lain hanyalah seorang basyar (manusia) seperti kamu (jua), maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya. Pengakuan rasul bahwa dia juga manusia dapat dilihat dalam surah al-Kahfi ayat 110 yang artinya : “katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam  beribadat kepada Tuhannya”
Manusia dalam pengertian basyar ini dapat pula dilihat antara lain dalam surah Ibrahim ayat 10, surat Hud ayat 26, surah al-Mu’minun ayat 24 dan 33, surah asy-syu’ara ayat 154, surah Yasin ayat 15, dan surah al-isra’ ayat 93. Di dalam hadits Rasulullah SAW juga ditemui pengakuan akan “kemanusiaan” dalam pengertian basyar. Misalnya, dalam hadits yang menyangkut permasalahan peradilan yang sangat terkenal, yakni ketika rasulullah SAW mengatakan “Sesungguhnya saya ini adalah seorang manusia seperti kamu juga. Kamu datang kepada saya untuk perkara; barangkali sebagian kamu lebih pandai mengemukakan alat bukti dari sebagian yang lain, lalu aku putuskan perkara tersebut sesuai dengan keterangan yang saya terima …” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah).
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terlihat bahwa manusia dalam artian basyar adalah manusia dengan sifat-sifat kemateriannya. Manusia dalam Al-Quran dan juga di sebut an-nas, kata an-nas dalam Alquran terdapat sebanyak 240 kali dengan keterangan  yang jelas menunjuk pada jenis keturunan Nabi Adam AS. Misalnya, yang terdapat dalam surah al hujarat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Manusia juga sering disebut al-ins atau al insan. Kata al-ins dan al insan dalam pengertian bahasa merupakan lawan dari “binatang liar”. Dalam Alquran, sekalipun mempunyai akar kata yang sama, kedua kata tersebut mempunyai pengertian yang berbeda dan mempunyai keistimewaan yang berbeda pula.
Kata al-ins senantiasa dipertentangkan dengan kata al-jinn (*jin), yakni sejenis mahluk halus yang tidak bersifat materi yang hidup di luar alam manusia. Bintu Syati (pakar tafsir dan dosen pada Universitas Qurawiyyin di Maroko) mengatakan bahwa jin tidak harus dipahami sebagai bayangan yang menakutkan di kegelapan malam, walaupun lafal al jinn  itu pada dasarnya berarti al-khafa’ (tersembunyi), yaitu makhluk yang hidup di luar alam yang kita lihat, di balik alam yang dihuni manusia, dan tidak tunduk pada hukum alam kehidupan manusia.
Sedangkan kata al-insan bukan berarti basyar saja dan bukan pula dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Alqur’an, al insan mengandung pengertian makhluk *mukalaf (ciptaan Tuhan yang dibebani tanggung jawab) pengemban amanah Allah SWT dan khalifah SWT di atas bumi. Al-insan dalam pengertian ini didapati pada 65 tempat dalam alqur’an. Penjelasan tersebut menunjukkan keistimewaan dan ciri-ciri manusia dalam pengertian al-insan. Dalam ayat pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW, yaitu surah al-alaq, terdapat tiga kali penyebutan al insan yaitu (1) yang menceritakan bahwa manusia itu diciptakan dari ‘alaq (segumpal darah); (2) manusia dikatakan memiliki keistimewaan, yaitu ilmu dan (3) Allah SWT menggambarkan bahwa manusia dengan segala keistimewaannya telah melampaui batas karena telah merasa puas dengan apa yang dipunyai.
Selanjutnya dalam surah Maryam ayat 67 Allah SWT mengingatkan manusia agar mempergunakan pikirannya tentang kejadiannya yang sebelumnya tidak ada hingga menjadi ada. Selain itu antara lain dalam surah Yunus ayat 12 dan surah al-isra’ ayat 67 ditunjukkan betapa manusia itu telah melampuai batas dan melupakan penciptanya. Dari berbagai ayat yang memaparkan keistimewaan dan ciri-ciri manusia bahwa manusia (al-insan) adalah khalifah Allah Swt di atas bumi yang diberi tanggung jawab dan amanah karena kekhususannya, adalah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, mempunyai ilmu, akal dan memiliki kemampuan al-bayan (berbicara). Semuanya itu mengandung resiko dengan adanya ujian-ujian yang akan menimpanya, baik itu yang sifatnya positif atau negatif.
Yang dimaksudkan dengan kemampuan berbicara (al-bayan) adalah pembicaraan yang menggugah hati dan perasaan, sehingga manusia dalam arti basyar berubah menjadi manusia yang berarti insan yang sanggup menerima Alqur’an sebagai petunjuk. Para filsuf telah berusaha untuk memberi kriteria yang membedakan manusia dengan hewan lainnya. Mereka menyatakan bahwa berpikir adalah sesuatu yang membedakan manusia dari makhluk lainnya, sehingga muncullah definisi mereka terhadap manusia sebagai “hewan yang berpikir”. Pandai berbicara bukan hanya sekedar mengucapkan kata-kata karena menurut penelitian para ahli, sebagian hewan juga saling berbicara daengan bahasa mereka dan memiliki akal dalam kadar yang sangat rendah. Berbicaranya manusia adalah dengan pembicaraan yang telah diolah oleh pikiran yang jernih. Inilah yang merupakan keistimewaan manusia tersebut dibandingkan makhluk lainnya.
Manusia telah diciptakan oleh Allah dengan dibekali nafs, akal dan ruh. Nafsu di pahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap manusia. Nafsu ini, walaupun tidak tampak, dirasakan kehadriannya ketika seseorang terdorong, dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk bertindak atau berkata guna mencapai sesuatu yang dapat memuaskan batinnya. Nafsu yang paling dikenal dan dekat dengan istilah ini adalah nafsu yang paling dikenal dan dekat dengan istilah ini adalah nafsu syahwat yang dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai dorongan seksual.
Tapi istilah bernafsu sebenarnya juga digunakan untuk pengertian yang tidak berkaitan dengan seks, misalnya bernafsu untuk makan dan minum, untuk mengetahui suatu rahasia, untuk berperang dan mengalahkan lawan, untuk memiliki suatu benda, untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya, untuk menang dalam suatu perlombaan atau undian, untuk menguasai atau mendominasi dan setersunya. Bernafsu, yang timbul dalam diri seseorang, mengarah kepada diri, bersifat ego sentris, bagi kesenangan atau kepuasan diri, baik kepuasan lahiriah (misalnya kenyang) atau batiniah (misalnya senang). Karena itu, maka tidak ada  nafsu untuk kalah atau untuk lapar, sebab hal itu tidak menyenangkan atau merugikan diri sendiri.
Tidak setiap sikap dan tindakan “bernafsu” itu jelek. Tapi pada umumnya memang berkonotasi negatif. Sebabnya adalah, suatu tindakan yang mengandung nafsu, lebih-lebih “terlalu bernafsu”, biasanya ceenderung merugikan orang lain, bahkan bisa merugikan diri sendiri atau merusak lingkungan alam atau sosial. Karena itu, nafsu itu sendiri perlu dikendalikan. Sungguh pun demikian, nafsu adalah ciri manusia. Kalau seseorang kurang mengandung nafsu, orang itu dianggap mengandung kekurangan atau bahkan tidak normal. Dan nafsu ini merupakan faktor penting dalam kehidupan seseorang maupun masyarakat. Nafsu adalah salah satu faktor yang mendorong perubahan dan kemajuan. Tapi nafsu juga mengandung resiko. Karena itu “diwaspadai”. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat A Syams ayat 8 : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasihan dan ketakwaan.” Nafsu adalah potensi dasar yang terdapat pada diri manusia. Dan akan menjadikan manusia pada sifat-sifatnya. Apakah akan baik atau sebaliknya. Sbagai penentu sifat tersebut adalah akal yang dimilikinya yang merupakan pembeda dengan mahluk yang lain.
Akal manusia berfungsi untuk mengantarkan kepada pemahaman dan kemampuan untuk mengerti. Dalam akan mengandung daya memahami,  daya menganalisa dan menyimpulkan serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan dalam ber”fikir”. Seorang yang memiliki daya nalar yang kuat boleh jadi tidak memiliki dorongan moral yang kuat. Boleh jadi juga seorang yang memiliki dorongan moral, tidak memiliki daya nalar yang kurat, tetapi seorang yang yang memiliki “rusyd” maka dia telah menggabungkan keistimewaan keduanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al An’am ayat 151 yang artinya :
… dan janganlah dekati perbuatan-perbuatan keji yang nampak atau tersembunyi jangan juga membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang benar, demmikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya” (Q.S. al-An’am 6:151).
            Akal digunakan oleh manusia bukan daya pikir semata, atau daya rasa itu semua belum mencecrminkan makna sebenarnya dari akal, tetapi ia adalah dorongan  moral untuk melakukan kebaikan dan menghindar dari kesalahan, karena adanya untuk berpikir, memahammi persoalan. Dari sini dapat mengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata : “Sebenarnya kami mendengar dan berakal maka pasti kami tidak termasuk penghuni neraka” (QS al-Mulk/67:10). Dengan demikian sifat-sifat baik atau buruk yang dimiliki oleh manusia sangat ditentukan oleh nafsu yang di dorong melalui akal.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Drs. Roly Abdul Rohman,M.Ag, lahir di Rembang tanggal 04 Maret 1970. Menemukan pasangan hidup (1996) dengan Dra. Umi Rahmawati Ismanto, teman seperjuangan ketika aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bojonegoro, dikarunia seorang anak MH. Ridlo Imaduddin Rahman (1998), Saat ini tinggal di perumahan Bumi Pacul Permai Blok I-6, Bojonegoro, Jawa Timur, Kontak telepon (0353) 882890 atau Hand Phone. 081 235 949 38. Alamat Email: roliarohman@gmail.com atau roliarohmanjsa@yahoo.com

Site Info

Text

INSAN KAMIL INSTITUTE Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers